Kamis, 22 Oktober 2015

Sepak Bola Mirip Dengan Stand Up Comedy

Apa yang paling dinanti-nanti oleh para penonton sepakbola? Sebagian besar orang akan menjawab: gol. Sementara lalau kita bicara stand-up comedy, mayoritas orang akan mencari satu hal, yakni: tawa. Bahkan dalam stand-up comedy dikenal istilah LPM (Laugh Per Minute), yakni rata-rata jumlah tawa yang bisa dihasilkan oleh seorang comic (sebutan singkat untuk stand-up comedian) untuk tiap menit ia tampil.
 
Namun seorang comic papan atas tanah air, Sammy D. Putra (@notaslimboy), pernah berujar: “Dalam stand-up comedy, LPM memang penting, tapi bukan segalanya. Sama seperti pertandingan sepakbola. Partai yang seru dan berkualitas, belum tentu identik dengan jumlah gol yang tercipta.”
 
Menurut saya, ini analogi yang menarik. Dan membuat saya iseng membandingkan lebih jauh antara stand-up comedy dengan sepakbola. Bagi anda yang belum mengenal stand-up comedy secara mendalam, berikut saya coba ulik beberapa aspek stand-up comedy, yang ternyata, lumayan mirip dengan sepakbola:
 
Lain padang, lain belalang 
Sudah jelas bahwa Spanyol adalah salah satu unggulan Euro 2012. Formula tiki-taka mereka bukan cuma mematikan, tapi juga menyiksa secara perlahan. Tapi menghadapi Spanyol di Semifinal, pelatih Portugal Paulo Bento menolak untuk tampil defensif. Meski akhirnya kalah lewat adu penalti, tapi Portugal membuktikan bahwa mereka berani menantang Spanyol dengan permainan agresif dan jauh dari kesan “minder”.
 
Menghadapi “lawan” alias penonton yang berbeda membutuhkan taktik yang berbeda. Comic juga wajib memahami hal ini. Tampil di hadapan mahasiswa akan membutuhkan pendekatan yang berbeda dengan tampil di sebuah acara korporat yang dihadiri banyak petinggi perusahaan. Seperti halnya pelatih, comic harus paham kapan harus “bertahan” dan bermain dengan materi aman meski beresiko membosankan, dan kapan harus “menyerang” dengan jurus-jurus andalan meskipun beresiko tinggi. Strategi yang penuh kalkulasi bukan hanya terjadi di lapangan hijau, tapi juga di atas panggung stand-up comedy.
 
Cetak gol dengan punchline 
Normalnya, sebuah tim sepakbola membangun serangannya dari belakang ke depan. Dari bek, gelandang, lalu striker. Sama halnya dengan stand-up comedy. Bila seorang comic diibaratkan sebagai pelatih sepakbola, maka “striker” yang ia miliki berwujud “punchline”, alias kalimat kunci sebuah lelucon yang akan membuat orang tertawa. Tapi apa daya striker bila tidak mendapatkan support bola dari lini tengah?
Sama halnya seperti comic, sebuah punchline membutuhkan set-up atau kalimat pengantar yang kuat. Bila set-up saja sudah tidak menarik, penonton akan kehilangan minat untuk menunggu punchline-nya, alhasil tawa yang dihasilkan tidak akan optimal. Atau sunyi senyap sama sekali. Tapi bila set-up bisa memberikan “through pass” yang ciamik ala Andres Iniesta, niscaya punchline-nya pun akan mencetak “gol” seindah David Villa.
 
Tonton, catat, rewind,  lalu ulangi 
Apakah setiap pesepakbolarajin menonton ulang pertandingan mereka? Belum tentu. Tapi apakah menonton ulang pertandingan akan membantu mereka untuk mengenali kesalahan mereka dan belajar untuk menghindarinya di masa yang akan datang?
Sudah pasti. Seperti halnya sepakbola, menonton atau mendengarkan rekaman penampilan adalah hal yang sangat amat menyebalkan bagi seorang comic. Anda pernah merasa risih saat mendengar rekaman suara anda sendiri, atau menonton diri anda di video? Comic pun begitu. Tapi bagaimana lagi kita bisa belajar, andai tidak menganalisis pertandingan secara menyeluruh? Bagaimana cara kita mengetahui penyebab “kekalahan” kita di “lapangan”? Merekam lalu mengevaluasi secara menyeluruh penampilan di medan laga adalah sebuah hal yang krusial bagi seorang comic, seperti halnya pemain sepakbola.
Sepakbola adalah seni yang rumit dan indah. Stand-up comedy pun demikian. Saya mencintai keduanya dengan sepenuh hati. Walau belum melebihi cinta saya terhadap istri saya. Dan anak saya. Dan ketoprak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar