Ada banyak hal yang bisa diingat dari Paolo Maldini, salah satunya adalah kelegendaannya yang berbalur tabu.
Beberapa hari setelah memutuskan untuk gantung sepatu, Maldini
menerima surat dari Carles Puyol. Intinya surat puja-puji. Dia bilang,
ia tumbuh dengan menyaksikan Maldini bersepakbola. Ia mengagumi
bagaimana Maldini tetap bermain dalam kedisplinan taktikal. Namun di
atas segalanya, cara Maldini menghidupi sepakbola adalah hal yang paling
dikaguminya. Baginya, Maldini adalah contoh nyata kalau seorang bek
tidak perlu berulah beringas untuk menjadi hebat. Ia hanya perlu
mencegah lawan untuk mencetak gol dengan cara yang bermartabat.
Carles Puyol adalah adagium bahwa kedewasaan tidak selalu diikuti
oleh kehilangan idola. Barangkali, ia tumbuh dengan mengangan-angankan
menjadi Maldini. Puyol boleh mengidolakan Maldini sedemikian rupa. Ia
boleh berusaha sehebat-hebatnya untuk menjadi Maldini di Barcelona.
Namun saya jadi berpikir, jangan-jangan Maldini juga bermimpi menjadi
seperti Puyol.
Puyol tak pernah dituding sebagai pesepakbola yang kurang ajar, yang
lupa kepada orang-orang yang membikinnya kaya raya. Laga perpisahan
Puyol berlangsung khidmat. Tak ada kostum raksasa pemain lain yang
dikibarkan di sepanjang pertandingan perpisahannya. Puyol tak harus
bersaing dengan “Baresi-Baresi”-nya Barcelona.
Bagi Milan, Maldini adalah legenda yang menjadi tabu. Curva Sud
Milano tak menyukainya. Maldini dicap arogan dan durhaka oleh mereka
yang merasa membikin klub ini kaya raya.
Puncaknya memang terjadi pada tanggal 24 Mei 2009. Pertandingan
melawan Roma ini tak cuma menjadi laga ke 900 untuk Maldini, ini kali
terakhir Maldini bertanding untuk Milan di San Siro. Laga perpisahan ini
seharusnya menjadi manis, apalagi Maldini bukan cuma empat-lima tahun
bermain di Milan. Ia berada di sana selama 24 tahun. Hampir seperempat
abad, tanpa sekalipun berpindah ke kesebelasan lain – belum lagi
ditambah 7 tahun bersama tim junior. Seharusnya bukan hanya Andrea Pirlo
yang menangis haru, bukan hanya pemain Roma yang mengenakan kaos
bertuliskan “Terima Kasih, Paolo”. Seharusnya, yang berkibar megah dari
tribun selatan bukanlah kostum raksasa Franco Baresi, seharusnya hari
itu menjadi harinya Paolo Maldini.
Tapi apa boleh buat, Maldini memang tidak lebih besar daripada Baresi. Bagi kumpulan ultras itu, Milan hanya punya satu kapten. Dan ia bernama Franco Baresi.
Konon, aksi penolakan Curva Sud ini berawal dari cerita Istanbul
tahun 2005 yang termahsyur itu. Kabarnya sebelum pertandingan, Curva Sud
menjual sisa jatah tiket mereka kepada pendukung Liverpool dengan harga
yang jauh lebih mahal. Maldini berang, seharusnya sisa tiket itu dijual
kepada Milanisti dengan harga yang sebenarnya. Baginya, Curva Sud
hanyalah sekelompok mata duitan yang mengenakan selubung ultras.
Atas alasan itu pula, ia menolak untuk meminta maaf kepada mereka saat
dihampiri oleh beberapa orang anggota Curva Sud di bandara Malpensa
seusai pertandingan yang membikin Milan harus merelakan gelar Liga
Champion ke tangan Liverpool.
Perseteruan mereka berlanjut sampai tahun 2007. Maldini yang waktu
itu kembali memimpin Milan ke putaran final Liga Champion 2007 memilih
untuk tidak ikut campur saat kelompok ultras ini bermasalah
dengan polisi di Athena. Curva Sud yang merasa sebagai pihak yang
seharusnya dibela mati-matian oleh klub termasuk para pemain merasa
kecewa, akibatnya mereka memboikot pertandingan Milan kontra Sevilla
pada perhelatan Piala Super Eropa dan tidak menghadiri sejumlah
pertandingan sepanjang musim 2007-2008.
Jauh sebelum dua insiden ini terjadi, Maldini dan Curva Sud memang
sudah tak akur. Sekitar musim 1997-1998, saat Maldini baru 6 bulan
menjabat sebagai kapten, Curva Sud membentangkan spanduk yang
bertuliskan “Kurangi Hollywood dan Perbanyak Kerja Keras” di depan
rumahnya. Untuk diketahui, Hollywood adalah nama tempat hiburan malam di
Milan. Maldini dan teman-temannya memang sering bersenang-bersenang di
sana. Saya jadi berandai-andai – jangan-jangan, kiprahnya sebagai DJ
amatir juga bermula dari kesenangannya di klub malam, persis seperti
pertemuan pertamanya dengan Adriana Fossa, model asal Venezuela yang
kelak menjadi istrinya.
Maldini boleh merengkuh nama besar, ia boleh memimpin ratusan laga
Milan, ia sah-sah saja menjadi orang pertama yang mengangkat trofi saat
kesebelasannya memenangkan kompetisi apapun. Namun di mata orang-orang
yang memiliki posisi tawar kuat di klub itu, Maldini hanyalah bahan
cemooh. Sehebat apapun Maldini bersepakbola, tidak peduli sebanyak
apapun laga yang dilakoni untuk Milan – untuk diketahui total penampilan
Maldini di Milan sebanyak 902 kali, sedangkan Baresi 719 kali- Maldini
tidak akan pernah menang dari Baresi.
Di depan semua kalangan manajemen klub, barisan ultras tersebut adalah orang kuat. Mereka punya posisi tawar yang tak main-main, lewat penjualan tiket dan merchandise, mereka membikin penuh pundi-pundi Milan. Galliani boleh mengirimkan surat kepada Maldini perihal penyesalannya atas perlakuan ultras. Namun, bukankah basa-basi adalah bagian dari pekerjaan manajemen?
Sedalam apapun penyesalan manajemen, semenyentuh apapun surat yang
diberikan, Maldini tidak pernah menjadi bagian dari klub. Lihatlah
siapa-siapa yang menduduki kursi manajemen, nama Paolo Maldini tak ada
di sana. Perihal yang wajar, karena memasukkan ia yang ditolak oleh
orang-orang kuat klub ke jajaran manajemen sama saja dengan petaka.
Atas apa yang menimpa Maldini, saya teringat akan salah satu cerpen
karya Jorge Luis Borges yang berjudul “The Circular Ruins”. Ia berkisah
tentang seorang penyihir yang dalam mimpinya berupaya untuk menghidupkan
sosok manusia ideal yang begitu ia impi-impikan. Setelah mewujudkan
manusia ideal itu, ia mengirimnya ke semacam reruntuhan berlingkar –
yang agaknya menyerupai runtuhan kuil – di belahan selatan. Namun
bertepatan dengan bunyi kentongan tengah malam ia terjaga dari tidurnya
dan sadar kalau sesungguhnya keberadaannya juga diimpikan orang lain.
Saya tidak tahu ada berapa banyak pesepakbola yang mengidolakan
Maldini. Saya juga tidak paham ada berapa banyak anak yang bertekad
menjadi pesepakbola setelah menyaksikan Maldini mencegah lawan-lawannya
mencetak gol. Agaknya, ranah ini memiliki banyak Puyol – mereka-mereka
yang berusaha menghidupkan Maldini impian mereka lewat cara mereka
bersepakbola. Namun sama seperti penyihir dalam cerita Borges yang
terjaga akibat bunyi kentongan, tabu yang membaluri kelegendaan Maldini
barangkali juga bisa menyadarkan mereka dan membikin berani
berandai-andai; jangan-jangan Maldini juga berulang kali bermimpi untuk
bisa seperti mereka. Bermimpi untuk bisa menjadi legenda tanpa harus
menjadi tabu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar