Apa yang paling dinanti-nanti oleh para penonton sepakbola? Sebagian
besar orang akan menjawab: gol. Sementara lalau kita bicara stand-up
comedy, mayoritas orang akan mencari satu hal, yakni: tawa. Bahkan dalam
stand-up comedy dikenal istilah LPM (Laugh Per Minute), yakni rata-rata
jumlah tawa yang bisa dihasilkan oleh seorang comic (sebutan singkat
untuk stand-up comedian) untuk tiap menit ia tampil.
Namun seorang comic papan atas tanah air, Sammy D. Putra
(@notaslimboy), pernah berujar: “Dalam stand-up comedy, LPM memang
penting, tapi bukan segalanya. Sama seperti pertandingan sepakbola.
Partai yang seru dan berkualitas, belum tentu identik dengan jumlah gol
yang tercipta.”
Menurut saya, ini analogi yang menarik. Dan membuat saya iseng
membandingkan lebih jauh antara stand-up comedy dengan sepakbola. Bagi
anda yang belum mengenal stand-up comedy secara mendalam, berikut saya
coba ulik beberapa aspek stand-up comedy, yang ternyata, lumayan mirip
dengan sepakbola:
Lain padang, lain belalang
Sudah jelas bahwa Spanyol adalah salah satu unggulan Euro 2012. Formula
tiki-taka mereka bukan cuma mematikan, tapi juga menyiksa secara
perlahan. Tapi menghadapi Spanyol di Semifinal, pelatih Portugal Paulo
Bento menolak untuk tampil defensif. Meski akhirnya kalah lewat adu
penalti, tapi Portugal membuktikan bahwa mereka berani menantang Spanyol
dengan permainan agresif dan jauh dari kesan “minder”.
Menghadapi “lawan” alias penonton yang berbeda membutuhkan taktik yang
berbeda. Comic juga wajib memahami hal ini. Tampil di hadapan mahasiswa
akan membutuhkan pendekatan yang berbeda dengan tampil di sebuah acara
korporat yang dihadiri banyak petinggi perusahaan. Seperti halnya
pelatih, comic harus paham kapan harus “bertahan” dan bermain dengan
materi aman meski beresiko membosankan, dan kapan harus “menyerang”
dengan jurus-jurus andalan meskipun beresiko tinggi. Strategi yang penuh
kalkulasi bukan hanya terjadi di lapangan hijau, tapi juga di atas
panggung stand-up comedy.
Cetak gol dengan punchline
Normalnya, sebuah tim sepakbola membangun serangannya dari belakang ke
depan. Dari bek, gelandang, lalu striker. Sama halnya dengan stand-up
comedy. Bila seorang comic diibaratkan sebagai pelatih sepakbola, maka
“striker” yang ia miliki berwujud “punchline”, alias kalimat kunci
sebuah lelucon yang akan membuat orang tertawa. Tapi apa daya striker
bila tidak mendapatkan support bola dari lini tengah?
Sama halnya seperti comic, sebuah punchline membutuhkan set-up atau
kalimat pengantar yang kuat. Bila set-up saja sudah tidak menarik,
penonton akan kehilangan minat untuk menunggu punchline-nya, alhasil
tawa yang dihasilkan tidak akan optimal. Atau sunyi senyap sama sekali.
Tapi bila set-up bisa memberikan “through pass” yang ciamik ala Andres
Iniesta, niscaya punchline-nya pun akan mencetak “gol” seindah David
Villa.
Tonton, catat, rewind, lalu ulangi
Apakah setiap pesepakbolarajin menonton ulang pertandingan mereka?
Belum tentu. Tapi apakah menonton ulang pertandingan akan membantu
mereka untuk mengenali kesalahan mereka dan belajar untuk menghindarinya
di masa yang akan datang?
Sudah pasti. Seperti halnya sepakbola, menonton atau mendengarkan
rekaman penampilan adalah hal yang sangat amat menyebalkan bagi seorang
comic. Anda pernah merasa risih saat mendengar rekaman suara anda
sendiri, atau menonton diri anda di video? Comic pun begitu. Tapi
bagaimana lagi kita bisa belajar, andai tidak menganalisis pertandingan
secara menyeluruh? Bagaimana cara kita mengetahui penyebab “kekalahan”
kita di “lapangan”? Merekam lalu mengevaluasi secara menyeluruh
penampilan di medan laga adalah sebuah hal yang krusial bagi seorang
comic, seperti halnya pemain sepakbola.
Sepakbola adalah seni yang rumit dan indah. Stand-up comedy pun
demikian. Saya mencintai keduanya dengan sepenuh hati. Walau belum
melebihi cinta saya terhadap istri saya. Dan anak saya. Dan ketoprak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar